Kulukis senyummu sebagai warna yang hilang. Keping-keping rahasia menjangkau dadaku. Akupun berdendang dalam palung terdalam. Menarikan cinta bergaram sepi dan kecemasan. (Dan sungguh tahu sebatang igaku telah hilang). Sementara kau terus nyalakan
kata membakari dusta. Hingga leleh karat topeng-topeng. Bebungaan tumbuh mengiringmu. Langkahmu pun menjelma tarian benderang, lebih dari sekedar rintik hujan. Menepikan kenakalanku. Akulah sepi,
setebah bumi yang dahaga. Kulihat langit merendah mengibar kerudungmu.
Dan kubaca milyaran pagar terentang bagi gunung-gunung angkaku yang meliar. Hingga kutuntun seutas sungai airmata menempuh ujung kerudungmu. Jazirah dimana cecahya terbit memadamkan tawa yang dikirim ocehan radio, internet, televisi, dan lampu-lampu. Dan terus kulukis senyummu sebagai warna yang hilang. Sebab sumur-sumur sekarat di hatiku. Lihatlah, aku mengerang! Mengerang?
No comments:
Post a Comment